Je t'aime plus qu heir moins que demain

Minggu, 01 April 2012

Baritone Horn !


Guweh, biasa dipanggil mbakmbuk anak Marching. Dengan PD-nya mengaku Marchingholicz. (emang bener looh). Aku ngikut marching band dari kelas 1 SMA until now. Di Bhahana Swara Sangkakala Bhawana Smaneka Angkatan XV dan XVI, yang bentar lagi melaju selangkah di ajang bergengsi Langgam Indonesia di Bali. Udah latian bekisar 1 tahun, panas panas, hujan hujanan, kelaperan, kehausan, kena hukuman,  hanya ditentukan 12 menitan (gilak !! :0). 12 menitan yang menyimpan banyak cerita, kenangan,  pengorbanan,  dan pengalaman yang akan tersimpan rapi dalam ingatan dan juga hati.
Saya, Wike Agustin Kurniasari section Bariton 1. Setiap latian tak perna lepas dengan alat musik tiup logam,  semakin besar diameter corong dan serta panjang pipa udara, nada-nada yang dihasilkan menjadi lebih lembut, dan tebal dibandingkan instrumen dengan corong dan pipa udara yang lebih kecil dan pendek seperti Trompet.  Meskipun karakter suara Baritone agak sulit untuk didefinisikan secara akurat, umumnya para pemain sepakat bahwa suara ideal adalah tebal, berbobot, halus, dan lembut. Meskipun memiliki definisi yang mendalam indahnya kalo menurut aku dan teman teman seperjuangan section Bariton, beban yang dipikul untuk memboyong alat bercorong agak besar ini lumayan berat,dan bikin tangan njarem. Tapi saking marchingholicznya, dibetah betahin ajalah (yaiyalah, lawong sekarang ini not bariton jarang ada rest nya, kejar setoran terus :P) tapi tanpa mengurangi rasa keasikan saat berada di section Baritone itu sendiri.  Awal menjadi penanggung jawab menjadi seorang pemain Baritone, adalah waktu dadakan pas Final lomba marching kompetisi di BOMC ken Arok. Kita dipenjemi alat oleh salah satu unit lain yang kebetulan liat alat kita kurang ngegk tapi swara yang dihasilkan itu ngegk. Kita dipenjemi Tuba. Yang pegang bariton jadi pegang tuba, yang baritone dipegang sama anak trombon (alatku pas jaman enom), dan trombon pas waktu Final enggak dipakai.  Berasa aneh, canggung, kaget, dan berat tentunya. Tapi waktu itu rasanya aneh, kayak bangga gitu main Baritone. Itu pertama kali niup, bawa , dan bertanggung jawab sama Baritone.  Seneng, tentu.
Angkatan baru, alat baru. Alat Semasa perjuanganku di tahun 2010 an- 2011an yaitu Trombon di jual dan kita section Trombon pindah ke Section Baritone. Dan sekolah kita membeli alat baru 3 Tuba dan 1 Contra Brass (lebih berat itu), jadi alumni section bariton pindah ke section tuba.
B1, itu kode alat yang menempel kokoh di alatku. dan alhamdulillah kebagian solo Baritone, yang main di awal lagu (Mukadimah, yang sering diplesetkan Mukarata . aw ! :P), tapi masi tak puas dengan hasil soloku itu, 3 bulan aku belajar not soloku yang terdiri dari 26 not yang paling sering muncul not tinggi. Sekedar nyobak nyobak sebelum latihan bareng satu unit masi lumayan nyampe tuh nada. Tapi waktu main full section, ndredeg, grogi, jadi ancurrr. (maklum baru pertama kali solo, kalo bakso solo gk mungkin ndredeg, Wuhh ). Sampek sekarang rasa ndredeg itu masi betah nemplok ke aku. Mencoba main senyaman mungkin, tapi kalo ndredeg ya ndredeg. Ndredeg itu perlu, untuk membuatmu menjadi was was. Tapi terlalu nderedeg itu juga akan membuatmu nge blengg. Yak, itu balik ke kita sendiri. 

Bariton, corongmu besar mengangkat  wibawa dan tanggung jawab yang besar, serta membawa cerita besar mengalirkan melodi indah memasuki jiwa melalui raga yang mencumbumu (mouthpis). KEEP YOUR BRASS UP ! :*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar